Sunday, December 2, 2012

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM



Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ

"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap"

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.

Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.

Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.

Pertama : Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kedua : Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.

Ketiga : Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama " Selamatan Kematian atau Tahlilan".

LUGHOTUL HADITS
1. كُنَا نَعُدُّ / كُنَّا نَرَى = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.

Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.

2. اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama

3. بَعْدَ دَفْنِهِi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.

Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.

4. مِنَ الْنِّيَاحَةِ = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.

SYARAH HADITS
Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.

Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.

FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI
Apabil para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.

Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”.

1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).

“Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan"[1]

Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"
2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :

“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.

Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"

3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :

"Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.

Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)........

Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).

Kita memohon kepada Allah keselamatan !”

4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab ( 5/319-320) telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).

5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".

Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]

6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah Yang Jelek". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.

7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.

9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.

10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]

11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]

12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'i (I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit."

KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama' termasuk didalamnya imam empat.

Kedua : Akan bertambah bid'ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta'ziyah.

Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid'ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.

Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat.

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]

Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).

Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi).... “ [Al-Um I/317]

Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
_______
Footnote
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi'i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak!

http://almanhaj.or.id/content/2272/slash/0/tahlilan-selamatan-kematian-adalah-bidah-munkar-dengan-ijma-para-shahabat-dan-seluruh-ulama-islam/

RIWAYAT SEPUTAR NISFU SYA’BAN DAN HUKUM MERAYAKANNYA

Wahai saudaraku!! Waspadalah kalian terhadap para pembuat cerita palsu, yang mengutarakan sebuah hadits kepada kalian, sekalipun tujuannya baik. Sebab untuk mewujudkan suatu kebaikan itu harus benar-benar sah dari Rasulullah. Jika anda telah mengetahui palsunya suatu hadits, maka ketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk syari’at sedikitpun, bahkan termasuk wahyu dari syetan yang dibangun diatas hadits palsu”. (Al-Amru bil Ittiba hal, 177 Imam As-Suyuthi).
Banyak riwayat yang beredar ditengah masyarakat berkaitan dengan bulan sya’ban, yang berbicara seputar amalan-amalan khusus saat nishfu (pertengahan) sya’ban, baik berupa sholat, puasa, khotaman AL-Qur’an, shodaqoh dan sebagainya. Akhirnya hadits-hadits tersebut sangat populer (masyhur) dikalangan masyarakat. Padahal hadits-hadits yang dimaksud tidak shohih, menurut para ahlul ilmi. Dari sinilah kami ingin mengungkap beberapa riwayat tersebut, sehingga terang antara benang putih dengan benang hitam.
Beberapa riwayat tersebut diantaranya:
* Riwayat Ali bin Abi Thalib صلى الله عليه وسلم .
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مَسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهَ أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْر
Dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه , berkata: “Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “apabila tiba malam nishfu sya’ban, maka sholatlah pada malam harinya, dan puasalah disiang harinya, karena Allah turun kelangit dunia disaat tenggelamnya matahari, lalu berfirman: “ adakah yang meminta ampun kepada-Ku, lalu aku mengampuninya! Adakah yang meminta rizki kepada-Ku, lalu aku akan memberinya rizki! Adakah yang sakit lalu aku akan menyembuhkannya! Adakah yang demikian….. Adakah yang demikian….. sampai terbit fajar”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1388), Ibnul Jauzy dalam “Al-‘Ilal (2/561) dan Al-Baihaqy (3822). Tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abu Bakar bin Muhammad bin Abi Sabrah, dia adalah seorang rawi yang dho’if (lemah) menurut kesepakatan para Ulama’. Ibnu Rajab berkata di dalam “Latho’iful Ma’arif” (1432): ”sanadnya dho’if”, bahkan ahli hadits besar Al-Albani berkata dalam “Ad-Dhoi’fah” (2132): “Hadits ini Maudhu (palsu)”.
Riwayat Utsman bin Al-Mughirah.
تقطع الآجال من شعبان إلى شعبان ، حتى إن الرجل لينكح ويولد له وقد خرج اسمه في الموتى
Dari Utsman bin Mughirah berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “ajal manusia telah ditetapkan dari bulan sya’ban ke sya’ban berikutnya, hingga ada seorang yang menikah dan dikaruniai seorang anak, lalu namanya keluar sebagai orang-orang yang akan mati”.
Hadits ini mursal, diriwayatkan ibnu jarir dalam tafsirnya, jami’ul bayan (25/109) dari Aqil bin Khalid dari Ibnu Syaibah dari utsman bin mughiroh dari Nabi. Dan diriwayatkan pula oleh Al-baihaqy dalam “syu’abul iman” (3839) tetapi terhenti sampai pada Utsman bin Mughirah saja, tidak sampai Nabi.
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya “Tafsir Qur’anil Adhim” (4/145): “Hadits Mursal, tidak dapat dijadikan hujjah.
Riwayat tentang shalat “Al-Fiyyah” pada malan nishfu sya’ban.
Dinamakan Al Fiyyah (Seribu) karena bacaan sholatnya adalah surat al-ikhlas seribu kali dalam seratus rakaat, pada setiap rakaat membaca surat al-fatihah sekali dan al-ikhlas sepuluh kali. Adapun haditsnya adalah:
يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَتهُ كَلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ
Wahai Ali, barang siapa yang sholat seratus rakaat pada malam nishfu sya’ban dengan membaca surat al-fatihah dan “Qul huwa Allahu Ahad” (surat al-ikhlas) pada setiap rakaat sepuluh kali, maka Allah akan memenuhi seluruh kebutuhannya”.
Hadits ini Maudhu (palsu). Al imam Ibnul Jauzy berkata dalam “Al Maudhu’at” (2/129): “ tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu.” Kemudian beliau selanjutnya berkata: ”dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang yang melakukan sholat al fiyyah ini sampai larut malam, sehingga merekapun malas sholat shubuh atau bahkan tidak sholat shubuh”.
Imam Ibnul Qoyyim juga berkata dalam “Al-Manarul Munif” hal.98-99: “Diantara contoh haidts-hadits maudhu’ adalah haidts tentang sholat nishfu sya’ban”. Lalu lanjutnya: “sungguh sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya!! Padahal sholat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 Hijriyyah dan berkembang di Baitul Maqdis”???
Imam As-Syaukani berkata dalam “Majmu’atul Fawaaid”: “hadits ini maudhu’. Seorang yang cakap dalam ilmu hadits, hanya dalam melihat lafazdnya saja, yakin bahwa hadits ini palsu.”
Benar, terdapat suatu riwayat tentang keutamaan malam nishfu sya’ban yang di shohihkan oleh sebagian ahlu ilmu. Yaitu sebagai berikut:
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ أَوْ مَشَاحِن
Allah tabaraka wa ta’alah turun kepada makhluk-Nya pada malam nihsfu sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.
Hadits ini shohih, diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat yaitu muadz ibnu Jabal, Abu Tsa’labah Al-Hutsany, Abdulloh ibnu Umar, Abu Musa Al Asy’ary, Abu Hurairah, Abu Bakar As-Shidiq, Auf bin Malik, dan Aisyah.
Diantara para ulama yang menshohihkan hadits ini adalah seorang ahli hadits besar –belum lama meninggal- Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya yang bagus “Silsilatul Ahaditsis Shahihah” (no.1144), beliau berkata: “Kesimpulannya; hadits ini tidak diragukan shohihnya, karena diriwayatkan dengan banyak sanad.”
Namun, perlu diingat, hadits ini hanya menunjukan keutamaan malam nishfu sya’ban saja, tidak menunjukan sedikitpun anjuran mengkhususkannya dengan amalan sholat, puasa, khotaman Al-Qur’an, maupun amalan ibadah lainnya, lebih-lebih perayaan malam nishfu sya’ban, seperti yang biasa dilakukan masyarakat kita.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah menjelaskan dalam kitabnya “I’tidha’ Sirathil Mustaqim” (2/138): “adapun mengkhususkan puasa pada hari nishfu sya’ban, maka tidak ada dasarnya, bahkan harom. Demikian juga menjadikan sebagai perayaan, dengan membuat makanan dan menampakan perhiasan, semua ini merupakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali. Termasuk pula berkumpul untuk melaksanakan sholat “al fiyyah” di masjid-masjid, karena melaksanakan sholat sunnah pada waktu, jumlah rokaat, dan bacaannya tertentu, yang tidak disyariatkan maka hukumnya harom. Selain itu hadits tentang sholat al fiyyah adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahlul hadits. Oleh karena itu, tidak boleh menganggap sunnahnya sholat al fiyyah berdasarkan hadits tersebut. Dan jika tidak disunnahkan maka harom mengamalkannya. Seandainya malam-malam yang mempunyai keutamaan tertentu, disyariatkan untuk dikhususkan dengan melakukan sholat, tentunya amalan sholat tersebut disyari’atkan pula, untuk dilakukan pada malam i’dhul fithry, idul adha, dan hari arafah.”
Imam An-Nawawi (salah seorang Ulama madzhab Syafi’i) berkata dalam “Fatawanya” hal.26: “Sholat rajab dan sya’ban keduanya keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan mungkar.”
Imam ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari zaid bin Aslam, ia berkata: “kami tidak menemukan seorang pun dari sahabat kami, tidak pula fuqoha’nya yang mempedulikan malam nishfu sya’ban, mereka juga tidak acuh terhadap hadits makhul, dan mereka berpendapat malam nishfu sya’ban tidak lebih utama dibanding malam yang lainnya.”
Imam Abi malikah diberitahu bahwa Ziyad an numairi berkata: “pahala malam nishfu sya’ban sama dengan pahala lailatul qodhar.” Beliau menjawab: “seandainya saya mendengar sedangkan ditangan saya ada tongkat, tentu saya pukul dia, sebab Ziyad adalah tukang cerita.”
Imam suyuthi berkata: “termasuk perkara yang dibikin oleh ahlul bid’ah – yang mana mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari’at karena kembali menekuni tradisi orang majusi, dan menjadikan agamanya barang mainan dan gurauan- adalah menyemarakan malam nishfu sya’ban. Padahal amalan ini tidak pernah diriwayatkan secara shohih dari Rosulullah. Para periwayat hadits yang jujur tidak pernah meriwayatkan adanya sholat dimalamnya dan anjuran untuk menyemarakannya. Orang-orang yang membikin amalan tersebut , tidak lain adalah orang yang mempermainkan syari’at nabi, dan suka kepada agama majusi, karena api adalah tuhan mereka. Pertama kali diselenggarakan pada zaman AL Baromikah, lalu mereka menyusupkannya ke dalam sya’riat islam, untuk mengelabui rakyat jelata, agar rakyat menyangka amalan tersebut termasuk sunnah. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk menyembah Api dan membangkitkan kembali agama mereka. Padahal majusi adalah agama yang paling hina. Apabila kaum muslimin melaksanakan sholat, maka mereka rukuk dan sujud kepada api yang dinyalakan. Tradisi ini terus berlangsung sepanjang tahun. Kemudian seluruh negeri islam mengekornya. Selain itu ketika acara diselenggaraan laki-laki dan perempuan campur baur. Maka wajib bagi pemerintah untuk melarangnnya, dan ulama wajib memberi peringatan. Mengapa bulan sya’ban dimuliakan? Karena Rosulullah berpuasa dibulan tersebut kecuali beberapa hari saja. Memang ada riwayat dan atsar yang marfu’. Ini sebagai dalil bahwa bulan sya’ban adalah bulan mulia. Akan tetapi tidak ada dalil tentang amalan sholat secara khusus dan menyemarakannya sebagaimana syari’at yang telah shohih dalilnya.” (Al Amru bilittiba’ wannahyu bilibtida’ Imam Sy Suyuthi hal. 177-178).
Imam qurthubi berkata dalam tafsirny (16/128): “Tentang malam nishfu sya’ban tidak terdapat satu haditspun yang dapat dijadikan sandaran, baik mengenai keutamaanya atau tentang pembatalan ajal seseorang, maka jangalan kalian mengacuhkannya!!”
Imam Ali bin ibrohim mengatakan (yang intinya): “para imam masjid menyemarakan malam nishfu sya’ban dengan sholat roghoib dan amalan lainnya sekedar untuk menjaring masa, karena mendambakan kepemipinan. Di situ para tukang cerita meramaikan dengan bualannya. Semua itu jauh dari kebenaran. Namun Allah ta’alah berkehendak menampakan para ulama yang berpegang pada sunnah untuk membantah amalan sholat yang batil ini. Memang amalan ini telah merambah luas sehingga mereka melaksanakan sholat dengan senda gurau. Sholat ini dihapus secara sempurna di Mesir dan Syam pada awal tahun delapan ratus.” (Al Amru bilittiba’ hal.179).
Berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyah: “Asal semua amalan ini adalah; bahwasanya ibadah yang disyari’atkan secara berulang sering dengan berulangnya waktu, sehingga menjadi amalan sunnah dan hari raya, telah disyari’atkan oleh Allah. Dan itu telah mencukupi bagi orang yang ingin beribadah. Apabila terdapat amalan jama’i yang melampaui syari’at yang telah ditetapkan Allah tadi, maka menyerupai syri’at Allah dan sunnah Rosul-Nya. Pasti akan didapati didalamnya kerusakan yang telah disebutkan dimuka. Berbeda apabila yang melakukannya hanya seseorang atau jamaah khusus. Maka disini dibedakan antara dilakukan oleh orang banyak secara demonstratif dengan sedikit orang secara sembunyi, dan antara kebiasaan dengan bukan kebiasaan. Seperti itu pula setiap amalan yang pada asalnya disyari’atkan, lalu timbul bid’ah didalamnya lantaran amalan tersebut dijadikan amalan kontinyu, sehingga nampaknya hal itu adalah wajib.” (hal.180)
Ibnu abi malikah diberitahu bahwa Ziyad An Numairi berkata: “pahala amalan nishfu sya’ban sama dengan amalan lailatul qodar.” Beliau menjawab: “ seandainya saya mendengar sedangkan ditangan saya ada tongkat, tentu saya pukul dia.” Sebab Ziyad adalah tukang cerita.
Syeikh Al Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz berkata dalam risalahnya “At Tahdhir minal bida” hal.27: “termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia adalah perayaan malam nishfu sya’ban, atau pengkhususan hari tersebut dengan berpuasa. Semua itu tidak ada dasarnya dalam agama Islam. Kalaulah ada, itu hanyalah hadits-hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ahlul ilmi”.
Kesimpulan:
Kita harus berhati-hati terhadap beredarnya hadits-hadits yang tidak sah dari Nabi Muhammad , termasuk diantaranya riwayat-riwayat tentang nishfu sya’ban ini, seperti riwayat dari Ali bin Abi Thalib dan utsman bin Mughiroh dimuka.
Riwayat tentang sholat al fiyyah adalah maudhu’ dengan kesepakatan ahlul ilmi dan ahlul hadits, sebagaimana penjelasan syaikhul islam ibnu Taimiyah.
Terdapat suatu hadits yang dishohihkan sebagian ulama tentang keutamaan malam nishfu sya’ban.
Tidak boleh mengkhususkan hari nishfu sya’ban dengan amalan sholat ataupun puasa karena memang tidak ada dasarnya dalam Islam.
Tidak boleh mengadakan perayaan malam nishfu sya’ban sekalipun kebanyakan orang sering merayakannya, karena islam tidka pernah mensyari’atkannya.
(disarikah oleh Abu Ubaidah yusuf al atsary dari kitab “AL Hawadits Wal Bida” , imam at-thurthusy, ta’lig syeikh ali bin hasan. Dan kitab “Al Amru bil Ittiba’…” Imam As Suyuthy, tahqiq Syaikh manshur bin Hasan Alu Salman, dan risalah “At-Tahdzir minal bida’” Imam Abdul Aziz bin Baz.)
(Majalah Al-Furqon edisi 1 tahun 1, masih bernama Buletin Al Furqon)

Friday, November 30, 2012

Perayaan Maulid Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:
Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).
***
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi